KRISIS KEUANGAN ASIA DI INDONESIA
Krisis keuangan Asia dimulai pada tanggal 2 Juli 1997 ketika pemerintah Thailand yang saat itu dibebani utang luar negeri yang sangat besar, memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan yang dilakukan para spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negaranya. Pergeseran moneter ini bertujuan untuk merangsang pendapatan ekspor namun strategi ini terbukti sia-sia. Sehingga dengan cepat hal ini menimbulkan efek penularan ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing yang telah menanamkan uang mereka di "Asian Economic Miracle Countries" sejak satu dekade sebelum 1997 kehilangan kepercayaan di pasar asia dan membuang mata-mata uang dan aset-aset asia secepat mungkin.
Awal Krismon di Indonesia
Meskipun
kawasan Asia menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan, para investor asing
awalnya tetap percaya pada kemampuan para teknokrat
Indonesia untuk bertahan dalam badai krisis keuangan (seperti
yang pernah mereka lakukan sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-an). Tetapi
kali ini tidak dapat lepas dari krisis finansial dengan mudah. Indonesia
menjadi negara yang paling terpukul karena krisis ini tidak hanya berdampak
terhadap ekonomi tetapi juga berdampak signifikan dan menyeluruh terhadap
sistem politik dan keadaan sosial di Indonesia.
Pada
saat tekanan terhadap rupiah Indonesia akhirnya terlalu kuat, rupiah diputuskan
untuk diambangkan bebas (float
freely) pada bulan Agustus 1997. Dan sejak saat itu mulailah terjadi
depresiasi yang sangat signifikan. Pada tanggal 1 Januari 1998, nilai nominal
rupiah hanya 30 persen dari nilai yang pernah dicapai pada bulan Juni 1997.
Pada tahun-tahun sebelum tahun 1997 banyak perusahaan swasta di Indonesia yang
memperoleh pinjaman luar negeri jangka pendek yang tidak dilindungi terhadap
gejolak nilai tukar (unhedged)
dalam mata uang dolar Amerika, dan utang sektor swasta yang sangat besar ini
ternyata menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak.
Berlanjutnya
depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis.
Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga
menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang
yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa
perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya
diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar.
Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk
perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena
tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk
mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan
Oktober 1997.
IMF Datang tapi Kekacauan masih
tetap Berlangsung
IMF
tiba di Indonesia dengan paket bailout sebesar
USD $43 milyar untuk memulihkan kepercayaan pasar terhadap rupiah
Indonesia. Sebagai imbalannya IMF menuntut beberapa langkah reformasi
keuangan yang mendasar: penutupan 16 bank swasta, penurunan subsidi pangan dan
energi, dan menyarankan agar Bank Indonesia untuk menaikkan iklim suku
bunga. Akan tetapi paket reformasi ini ternyata gagal. Penutupan 16 bank
(beberapa diantaranya dikendalikan oleh kroni
Presiden Suharto memicu penarikan dana besar-besaran pada bank-bank
lain. Milyaran rupiah ditarik dari tabungan, sehingga membatasi kemampuan bank
untuk memberikan pinjaman dan memaksa Bank Indonesia untuk memberikan kredit
dalam jumlah besar kepada bank-bank yang masih ada untuk mencegah krisis
perbankan yang semakin parah.
Selain
itu, IMF tidak pernah berusaha untuk mengekang sistem patronase yang dimiliki
Suharto dan yang merusak perekonomian negara dan juga merusak program IMF.
Sistem patronase ini adalah alat yang dijalankan oleh Suharto untuk
mempertahankan kekuasaan; dalam imbalan atas dukungan politik dan keuangan dia
memberikan jabatan yang kuat kepada para keluarga, teman dan musuh (sehingga
menjadi kroni). Perkembangan lain yang berdampak negatif terhadap Indonesia
menjelang akhir tahun 1997 adalah kekeringan parah yang disebabkan oleh El Nino
(sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan hasil panen yang buruk) dan
peningkatan spekulasi tentang memburuknya kesehatan Suharto (sehingga
menyebabkan adanya ketidakpastian politik). Maka, secara bertahap, Indonesia
sedang menuju terjadinya krisis politik.
Kesepakatan
kedua dengan IMF diperlukan karena ekonomi masih tetap saja memburuk. Pada
bulan Januari 1998 rupiah kehilangan setengah nilainya hanya dalam rentang
waktu lima hari saja dan ini menyebabkan masyarakat berusaha menimbun makanan.
Kesepakatan kedua dengan IMF ini berisi 50 pokok program reformasi, termasuk
pemberian jaring pengaman sosial, penghapusan secara perlahan subsidi-subsidi
tertentu untuk masyarakat dan menghentikan sistem patronase Suharto dengan cara
mengakhiri monopoli yang dijalankan oleh sejumlah kroninya.
Namun,
keengganan Suharto untuk melaksanakan program reformasi struktural ini dengan
patuh justru menambah buruk situasinya. Di sisi lain IMF dikritik karena
dinilai terlalu memaksakan banyak program reformasi dalam waktu yang terlalu
singkat sehingga memperburuk keadaan perekonomian Indonesia. IMF memang membuat
kesalahan pada saat melakukan pendekatan awal dalam krisis Indonesia namun
lembaga ini akhirnya menjadi sadar bahwa kunci utama untuk mengatasi krisis
adalah untuk memulai kembali aliran modal swasta ke Indonesia. Agar hal ini
terwujud maka sistem patronase harus dipecah.
PDB dan Inflasi Indonesia 1996-1998:
|
1996
|
1997
|
1998
|
Pertumbuhan
PDB
(persentase perubahan tahunan)
|
8.0
|
4.7
|
-13.6
|
Pertumbuhan
Inflasi
(persentase perubahan tahunan)
|
6.5
|
11.6
|
65.0
|
Kesepakatan
ketiga dengan IMF ditandatangani pada bulan April 1998. Perekonomian Indonesia
dan indikator-indikator sosial masih menunjukkan tanda-tanda mengkhawatirkan.
Namun kali ini IMF lebih fleksibel dalam tuntutannya dibanding sebelumnya.
Misalnya, subsidi pangan yang besar untuk rumah tangga berpenghasilan rendah
diberikan dan defisit anggaran dibiarkan melebar. Akan tetapi IMF juga
menyerukan privatisasi badan milik negara, tindakan cepat untuk melakukan
restrukturisasi perbankan, pembuatan hukum kepailitan baru dan pengadilan baru
untuk menangani kasus-kasus kepailitan. IMF juga bersikeras untuk terlibat
lebih dekat dalam memantau pelaksanaan program-programnya karena pengalaman
yang lalu menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak sepenuhnya berkomitmen
untuk melaksanakan agenda reformasi.
Krisis Mencapai Puncaknya
Sementara
itu, kekuatan-kekuatan sosial juga sedang bekerja. Aksi demonstrasi dan kritik
yang ditujukan terhadap pemerintah Suharto semakin meningkat setelah ia
terpilih kembali sebagai presiden dan membentuk kabinet baru pada bulan Maret
1998. Kabinet baru yang provokatif ini berisi sejumlah anggota yang berasal
dari kelompok kroninya dan oleh karenanya tidak mampu berbuat banyak untuk
memulihkan kepercayaan terhadap pasar Indonesia. Setelah pemerintah memutuskan
untuk mengurangi subsidi BBM pada awal bulan Mei, kerusuhan berskala besar
terjadi di Medan, Jakarta dan Solo. Meskipun IMF telah memberikan waktu kepada
Suharto sampai dengan Oktober untuk mengurangi subsidi secara bertahap, ia memutuskan
untuk melakukan semuanya sekaligus, mungkin karena terlalu meremehkan dampaknya
atau terlalu percaya diri dengan kekuasaannya sendiri.
Ketegangan
mencapai puncaknya setelah empat orang mahasiswa Indonesia tewas waktu
melakukan demonstrasi di sebuah universitas lokal di Jakarta. Diduga penembakan
tersebut dilakukan oleh pasukan tentara khusus ('tragedi Trisakti'). Beberapa
hari berikutnya Jakarta dilanda kerusuhan sangat buruk. Seperti yang pernah
terjadi sebelumnya, etnis Tionghoa - yang sudah lama dibenci karena dianggap
kaya - banyak menjadi sasaran dalam kerusuhan ini. Toko-toko dan rumah-rumah
milik warga Tionghoa dibakar dan banyak perempuan China diperkosa secara
brutal. Setelah kerusuhan redam, lebih dari seribu orang tewas dan ribuan bangunan
hancur. Pada tanggal 14 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari kursi
kepresidenan ketika semua politisi menolak untuk bergabung dengan sebuah
kabinet baru yang dibentuknya. Krisis finansial telah sepenuhnya berubah
menjadi krisi sosial dan politik.
Sistem Politik Baru dan Awal
Pemulihan
Bacharuddin
Jusuf Habibie, wakil presiden dalam kabinet terakhir Suharto maka - berdasarkan
hukum - menggantikan Suharto sebagai presiden Indonesia berikutnya, beralih
kepada sosok teknokrat ekonomi untuk mengatasi krisis finansial yang sedang
berlangsung. Hal ini mengakibatkan dibuatnya perjanjian keempat dengan
IMF. Perjanjian ini ditandatangani pada bulan Juni 1998 dan memungkinkan
terjadinya defisit anggaran yang lebih longgar sementara dana baru dialirkan ke
dalam perekonomian.
Dalam
jangka waktu beberapa bulan ada beberapa tanda pemulihan. Nilai tukar rupiah
mulai menguat sejak pertengahan Juni 1998 (waktu terjun bebas ke angka Rp
16,000 per US dolar) menjadi Rp 8,000 per US dolar pada bulan Oktober 1998, inflasi membaik
secara drastis, saham-saham di Bursa Efek Indonesia mulai bangkit dan ekspor
non-migas mulai hidup kembali menjelang akhir tahun. Sektor perbankan (pusat
dari krisis ini) masih rapuh karena adanya jumlah kredit bermasalah yang sangat
tinggi dan bank-bank masih tetap sangat ragu-ragu untuk meminjamkan
uang. Selain itu, sektor perbankan telah menyebabkan peningkatan utang
pemerintah secara tajam dan utang-utang ini terutama disebabkan oleh penerbitan
obligasi untuk restrukturisasi perbankan. Namun demikian, meskipun rapuh,
perekonomian Indonesia mulai membaik secara bertahap selama tahun 1999,
sebagian disebabkan oleh membaiknya lingkungan internasional yang menyebabkan
kenaikan pendapatan ekspor.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari
Krisis Keuangan Asia
Menarik
untuk menanyakan apakah krisis seperti itu dapat terjadi lagi di Indonesia di
masa yang akan datang. Kemungkinannya kecil. Pertama, perlu ditekankan bahwa
krisis keuangan Asia paling buruk melanda Indonesia dibandingkan semua negara
lain yang terkena dampaknya karena yang terjadi di Indonesia tidak hanya krisis
ekonomi. Awalnya yang terjadi adalah krisis finansial namun berkembang dan
akhirnya diperparah menjadi krisis politik dan sosial yang sangat buruk di mana
pemerintah tidak bersedia untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang sangat
dibutuhkan melainkan justru berusaha untuk melindungi kekuasaan mereka.
Mengingat bahwa iklim politik yang tertib dan kondusif sangat penting untuk
membangun kepercayaan investor, ketidakpastian dan ketegangan dalam
perpolitikan di Indonesia membuat banyak investor pergi. Demikian juga setelah
Suharto jatuh, ketidakpastian politik membuat banyak investor (baik asing
maupun domestik) untuk tidak atau belum masuk kembali ke pasar Indonesia.
Akan
tetapi saat ini, Indonesia sedang menuju demokrasi yang benar, meskipun ini
adalah suatu proses yang juga disertai dengan berbagai hambatan. Pemerintahan
otoriter yang pernah berkuasa selama beberapa decade telah mematikan aktivitas
politik masyarakat dan lembaga-lembaga politik hingga batas-batas tertentu.
Butuh waktu sebelum negara ini dapat meninggalkan sebutan negara 'demokrasi
cacat’ ('flawed democracy')
yang diukur oleh Unit Kecerdasan Ahli Ekonomi untuk Indeks Demokrasinya. Akan
tetapi pemilihan umum yang adil dan bebas memberikan kepastikan bahwa ada
dukungan yang lebih besar bagi pemerintah selama periode Reformasi dibandingkan
masa sebelumnya. Keputusan untuk memilih presiden secara langsung oleh rakyat
Indonesia merupakan salah satu keputusan yang penting secara psikologis.
Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa iklim politik di Indonesia lebih
rapuh (dengan kata lain kurang stabil) dibandingkan dengan demokrasi yang sudah
lama dibangun karena banyak kelompok (yang visinya berbeda) mencoba membangun
posisi mereka pada demokrasi yang masih belum matang. Laporan lebih lengkap
tentang topik ini silakan kunjungi bagian Reformasi.
Faktor
penting lainya yang sangat memperburuk krisis keuangan di Indonesia adalah
sektor keuangan Indonesia yang sudah dalam keadaan yang sangat buruk
sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh budaya patronase dan korupsi yang
tidak memiliki model pengawasan yang baik. Bahkan Bank Indonesia tidak tahu
tentang arus uang (sehingga menyebabkan timbulnya utang swasta jangka pendek
yang sangat besar) yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan terjadinya 'ekonomi
gelembung' ('bubble economy').
Budaya patronase dan korupsi (serta kurangnya kepastian hukum) sangat
menghambat fungsi ekonomi yang efisien dan merupakan bom waktu yang bisa
meledak setiap saat.
Namun
setelah krisis berakhir, pemerintah-pemerintah Indonesia berikutnya telah membuat
langkah-langkah keuangan yang bijak untuk memastikan agar krisis serupa tidak
terjadi kembali. Pengawasan terhadap likuiditas sektor perbankan sekarang ketat
dan transparan, 'uang panas' ('hot
money') ditangani secara lebih hati-hati (misalnya dengan membatasi
utang jangka pendek), dan rasio utang
pemerintah terhadap PDB lebih rendah (sekitar 25 persen dan
menunjukkan tren menurun) dibandingkan kebanyakan negara-negara ekonomi maju.
Pada saat krisis tahun 2008 melanda, Indonesia terkena kembali arus keluar
kapital yang besar namun mampu menjamin ekonomi yang stabil karena fundamental
ekonomi yang baik. Bahkan selama krisis 2008-2009 Indonesia menunjukkan
pertumbuhan yang kuat dengan pertumbuhan PDB sebesar 4.6 persen terutama
didukung oleh konsumsi domestik.
Tetapi
skandal-skandal korupsi di Indonesia masih tetap lanjut mengisi halaman surat
kabar. Korupsi dan pengelompokan modal pada sekelompok elit kecil masih menjadi
masalah serius di negeri ini dan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang
efisien, baik dan adil. Terutama korupsi politik menyebar luas dan sering kali
digunakan politisi untuk mencari keuntungan dalam sektor bisnis nasional.